William Kent sudah 73 tahun, sehingga oleh lingkungannya sering dipanggil "Babe" kalau menurut istilah Jakarta. Meski tua, Babe tetap doyan daun muda.Herannya, Babe yang pengangguran itu tidak pernah kekurangan uang. Ia sering mentraktir kenalan-kenalannya makan atau minum di pub.
Memang, Babe memiliki rumah bertingkat dua, yang kamar-kamarnya ia sewakan ke beberapa pemondok. Ia sendiri menempati sebuah kamar di lantai dasar. Rumahnya tidak bagus, malah boleh dibilang agak kumuh. Letaknya di pinggiran Melbourne, kawasan Carlton yang kumuh pula.
Para penyewa tahu, uang sewa dari mereka setiap minggu tidak memungkinkan Babe hidup leluasa. Mereka pun tahu kalau Babe mempunyai sumber penghasilan lain. Ia bandar taruhan gelap, yang beroperasi di luar gelanggang pacuan kuda. Tepatnya di jalan-jalan dekat University Hotel.
Tamunya 3 orang
Salah seorang penyewanya adalah Jim Conole. Bersama istrinya ia tinggal di kamar depan tingkat dua. Selasa sore, 8 November, Jim melihat Babe bersama wanita berambut coklat kemerahan yang menggairahkan, minum-minum di University Hotel. Ia menduga, sebentar lagi si wanita pasti dibawa pulang.
Timbul niat iseng pada Jim. Kira-kira pukul 18.30 ia turun mengetuk kamar Babe, lalu menjengukkan kepala ke dalam. Benar, si rambut coklat kemerahan sedang duduk di pangkuan Babe. Namun mereka tidak cuma berduaan. Dua pria yang tadi berada di pub juga tampak di situ.
Sambil melayangkan pandangannya ke wanita yang menggairahkan itu, Jim melangkah masuk pura-pura meminjam koran. Setelah itu ia meninggalkan ruangan untuk memenuhi janji minum-minum dengan teman-temannya di Hawthorn, pinggiran kota Melbourne.
Satu setengah jam kemudian, May Howard yang tinggal di sebelah kamar Babe merasa terganggu oleh bunyi berisik. Ia mendengar perabot rumah tangga digeser-geser. Yang mencemaskannya adalah bunyi gedebak-gedebuk dan suara erangan.
Ia tahu Babe mendapat tamu. Tadi, kira-kira pukul 18.00 ia melihat Babe pulang membawa seorang wanita berambut coklat kemerahan dan dua pria. Lalu ia melihat wanita itu dengan salah seorang pria keluar ke lorong depan. Sebelumnya mereka mengunci pintu kamar Babe dan mengantungi kuncinya. Dari sana mereka pergi ke halaman belakang. Ia mendengar mereka berbicara di sana sebentar sebelum akhirnya kembali masuk ke kamar Babe.
Ada kejadian lain yang tidak biasa sore itu. Selama ini hampir setiap sore Ny. McWilliam yang tinggal di rumah seberang bertandang ke rumah Babe untuk minum-minum. Ia selalu diterima dengan baik. Namun, kali itu May Howard mendengar Ny. McWilliam bersitegang dengan tamu-tamu Babe. Katanya, suaminya tahu ia pergi ke mana dan ia memang biasa datang ke situ. Beberapa saat kemudian ia tampak kembali ke rumahnya. Rupanya ia ditolak masuk ke kamar Babe.
Menjelang pukul 21.00 May merasa kamar Babe sunyi. Walau keributan sebelumnya sempat merisaukannya, kesunyian sekarang malah membuatnya penasaran. Penyewa yang mengkhawatirkan keselamatan induk semangnya ini memberanikan diri mengetuk pintu kamar Babe. Tidak ada jawaban. Ia memutar tombol pintu, ternyata terkunci. Aneh. Tidak biasanya Babe mengunci pintu kalau sedang di rumah. Mungkin ia pergi dengan tamu-tamunya. Atau jangan-jangan ….
May tidak akan bisa tidur nyenyak sebelum yakin akan keadaan Babe. Karena penasaran ia mendekati pintu kamar Babe dan menempelkan telinganya ke lubang kunci. Samar-samar kedengaran suara orang berbicara.
Sebelumnya May sudah menyatakan rasa waswasnya kepada penyewa kamar lain, yakni William Symons, veteran perang yang tungkainya tinggal sebelah. Jadi sekarang ia mendatangi Symons yang sudah tua itu. Ia menyatakan, ingin mengintip ke kamar Babe lewat jendela.
May Howard segera melaksanakan niatnya. Agar tidak menimbulkan kecurigaan orang-orang yang ada di dalam, ia mengambil jalan memutar. Ia keluar dulu dari halaman belakang, lalu memutari blok sampai tiba dekat rumah Ny. McWilliam di seberang jalan. Ketika sedang berada di sana, ia melihat salah seorang dari dua pria tamu Babe ada di lorong menuju pintu depan yang terbuka. Tidak lama kemudian muncul pria kedua dan perempuan yang berambut coklat kemerahan. Pria yang keluar bersama si wanita sempat memberi salam, "Selamat malam" kepada Babe, sebelum menutup pintu kamar.
Ketiga orang itu sempat bercakap-cakap sebentar di trotoar, sebelum akhirnya menghilang di sudut jalan. May kembali mendatangi Symons untuk melaporkan kepergian ketiga orang itu. Symons bertanya apakah Babe kedengaran menjawab salam selamat malam mereka. May tidak mendengarnya.
Lantas Symons dan May menghampiri pintu induk semang mereka. Symons mengetuk. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lebih keras lagi, kali ini dengan sebelah tongkat penyangganya. Tetap tidak ada jawaban. Akhirnya mereka menghubungi polisi.
Tewas disiksa
Yang pertama datang adalah Detektif Polisi George Crouch ditemani dua polisi berseragam. Mereka mendobrak pintu kamar Babe. Ruangan itu acak-acakan. Tubuh Babe terbujur kaku di lantai. Mengetahui korban sudah tidak bernapas lagi, mereka menelepon markas, memanggil para detektif yang bertugas mengusut pembunuhan.
Detektif Senior Cyril Currer dan Detektif Ron Kellett segera datang, disusul sejumlah petugas lain. Mereka meneliti ruangan yang berantakan, padahal beberapa jam sebelumnya William "Babe" Kent masih bercanda dan memangku si rambut coklat kemerahan di tempat itu.
Dalam posisi tergolek miring, sebagian tubuh Babe tertutup seprai yang penuh cipratan darah. Wajahnya babak belur sampai hampir tidak bisa dikenali lagi. Karpet di ruangan itu tercabik-cabik dan pada beberapa tempat dikelupas dari lantai sehingga papan lantai terlihat. Kasurnya bekas ditusuk dan dirobek dengan pisau yang menyebabkan isinya berhamburan keluar. Lemari pakaian terguling miring, isinya berserakan. Rupanya si pelaku berusaha mencari sesuatu.
Dokter kepolisian Dr. Keith Bowden menyibakkan seprai. Tampak kemeja Babe robek. Tubuhnya mandi darah. Ada sejumlah cedera di tubuhnya. Menurut Bowden, korban tampaknya disiksa sebelum tewas.
Pergelangan tangan Babe diikat ke belakang dengan robekan kain seprai. Kedua ibu jarinya juga diikat dengan tali dan sakunya ditarik ke luar. Polisi tahu, Babe adalah bandar gelap pacuan kuda, tetapi pria berumur itu tidak pernah tertangkap basah.
Tetangga-tetangganya menceritakan kehadiran tiga orang asing di kamar Babe sebelum ia ditemukan tewas. Polisi menarik kesimpulan, perempuan berambut coklat kemerahan itu berperan sebagai umpan untuk merayu Babe, lalu mengajaknya minum-minum bersama dua temannya ke kamar korban. Tentu saja dengan iming-iming keintiman seksual.
Diperkirakan, para pelaku tahu Babe seorang bandar gelap dan menduga korban memiliki banyak uang yang disimpan di kamarnya. Ketika gagal menemukannya, mereka menyiksa orang tua itu agar mau menunjukkan uangnya, sebelum akhirnya membunuhnya untuk menghilangkan jejak.
Pakaian bernoda darah
Jim Conole, tetangga yang sore itu pura-pura meminjam koran kepada Babe, baru pulang ke rumah pukul 23.00. Kepada polisi ia menceritakan apa yang dilihat dan didengarnya saat masuk ke kamar korban. Katanya, salah seorang pria memanggil perempuan yang dipangku Babe, "Jean". Penampilan wanita itu memang "yahud", kecuali hidungnya. Ada semacam borok di hidungnya. Rupanya gatal, sebab perempuan itu terus menggaruknya. Ia melihat keempat orang itu minum-minum sebotol anggur di kamar Babe.
Dari Jim Conole, May Howard, dan beberapa tetangga, polisi mendapat gambaran perihal ketiga tamu korban. Sebagai langkah awal penyelidikan, sebuah tim polisi dikirim ke University Hotel untuk menanyai orang-orang yang melihat Babe dengan ketiga orang itu. Pelayan bar masih ingat betul pada perempuan berambut coklat kemerahan itu. Katanya, hidung wanita itu luka dan sekeliling lukanya memerah. Wanita itu merayu Babe. Ia juga mendengar, perempuan itu berkata kepada Babe bahwa ia dan kedua temannya datang dari Sydney.
Lekas-lekas bandara dan stasiun-stasiun kereta api diinstruksikan untuk melapor ke polisi kalau ketiga tersangka itu muncul. Namun, mereka tidak ditemukan di mana-mana. Saat itu di Melbourne sedang berlangsung pekan pacuan kuda yang memperebutkan Piala Melbourne. Mungkin hal itu yang membawa ketiga buronan itu ke kota ini. Para detektif yakin mereka masih di sekitar Melbourne sambil berharap menang bertaruh dengan uang hasil jarahan mereka.
Akhirnya polisi memeriksa beberapa hotel. Resepsionis yang bertugas malam hari di Great Southern Hotel, dekat stasiun kereta api Spencer Street, ingat bahwa trio seperti yang digambarkan polisi, tiba ke hotel ini kemarin. Yang mengaku bernama Andrews menginap di kamar untuk satu orang. Sedangkan Lee dan nyonya mengambil kamar untuk dua orang. Namun saat ini mereka sedang ke luar hotel.
Dengan membawa kunci, resepsionis itu menemani Detektif Senior William Mooney dan tiga detektif lain ke kamar Andrews dan kamar pasutri Lee. Mereka menemukan mantel dan rok bernoda darah di lemari kamar yang dihuni pasutri Lee. Juga sehelai kemeja yang pergelangan lengannya bernoda darah. Di kamar Andrews, sehelai kemeja yang terciprat darah teronggok di kursi.
Mereka kembali ke lobi hotel, sementara Mooney menelepon markas besar, meminta Currer dan Kellett datang ke hotel menunggu para buronan. Saat itu mereka sudah bekerja cukup lama sehingga lelah dan mengantuk. Beberapa di antara mereka sempat tertidur di lobi.
Menjelang pukul 04.20, suara tertawa mengejutkan mereka. Dua pria dan seorang wanita berambut coklat kemerahan masuk ke hotel dalam keadaan mabuk. Mereka menggoda penjaga pintu. Seperti gambaran dari para saksi, perempuan itu punya luka di hidung dengan warna merah di sekelilingnya.
Keempat detektif, diikuti oleh Currer dan Kellett, segera merangsek mengelilingi tiga orang itu. Dengan hormat ketiganya diminta ikut ke markas polisi, untuk "membantu polisi dalam pengusutan kejahatan". Namun sebelumnya tas milik si rambut coklat digeledah. Isinya antara lain dua tiket pesawat atas nama Clayton dan Ny. Clayton.
Meski sempat menolak, akhirnya mereka menurut juga tanpa perlawanan. Mereka diangkut dengan kendaraan yang berbeda-beda. Saat itu sudah tujuh jam lewat sejak korban ditemukan tewas.
Di markas polisi, mereka ditempatkan di ruang yang berbeda pula. Mooney dan seorang temannya menanyai "Mr. Lee" yang mengaku bernama Robert Clayton. Katanya, si rambut coklat adalah pacarnya, Jean Lee. Polisi curiga, bisa jadi perempuan itu pelacur dan Clayton yang bertubuh kecil dan berpenampilan licik itu germonya.
Katanya, mereka bertemu Norman Andrews pada awal minggu. Sejak itu ketiganya ke mana-mana selalu bersama. Suatu hari Andrews menggadaikan setelan jas karena mereka bokek. Kemudian mereka terlibat percakapan dengan seorang pria lanjut usia yang dipanggil "Babe" di tempat minum University Hotel. Menurut Clayton, Jean dan Andrews menemani Babe pulang.
"Saya sih tidak pernah ke sana," kata Clayton. Katanya ia menunggu di luar hotel. "Tidak mungkin," sanggah Mooney. Ada orang-orang yang melihatnya berjalan bersama dua temannya dan Babe ke rumah korban di Dorrit Street.
Tapi, Clayton tetap menyangkal.
Uangnya cukup banyak
Lalu percakapan difokuskan pada kondisi keuangan trio itu. Andrews cuma menerima Rp 60.000,00 saat menggadaikan setelan jasnya. Sehabis minum-minum uangnya tersisa Rp 36.000,00. Clayton mempunyai uang sekitar Rp 30 juta. Kata Clayton, uang itu tabungannya, hasil bekerja serabutan di Sydney.
Keterangan mereka tidak cocok dengan kenyataan. Clayton terlihat berada di kamar Babe dan meninggalkan rumah korban kira-kira pukul 21.00. Pria lanjut usia itu didapati tewas dengan tanda-tanda bekas penganiayaan di kamarnya. Clayton yang mengaku sama sekali tidak punya uang tiba-tiba memiliki sejumlah uang. Interogasi pun diteruskan.
Clayton tetap membantah terlibatan dalam kasus itu. Kemudian, ia mengakui bantahannya tidak meyakinkan. "Aku tidak ikut-ikutan dengan yang mereka lakukan," teriaknya marah. Ia terus menyatakan, Jean dan Andrews-lah yang ingin agar ia ikut menghabisi Babe, tetapi ia menolak. Katanya, Jean pergi ke halaman belakang untuk memberi tahu dia bahwa Babe punya banyak uang, tetapi karena celana Babe sulit diperosotkan, tak mudah bagi Jean untuk mendapat uang itu dengan 'jalan baik-baik'. Berarti korban harus dibunuh.
Menurut Clayton, setelah kembali sebentar ke kamar Babe, ia pulang ke Great Southern Hotel, meninggalkan Jean dan Andrews untuk melaksanakan niat mereka berdua. Ia baru bertemu lagi dengan mereka beberapa saat kemudian. Ketika ditanyakan dari mana mereka mendapat uang untuk membeli tiket pesawat ke Adelaide, Clayton menjawab bahwa Andrews dan Jean mengambil uang Babe.
Mooney mengingatkan, ada saksi mata yang melihat Clayton meninggalkan rumah Babe bersama dua temannya. Sementara itu lecet-lecet pada kepalannya menunjukkan, ia telah mempergunakan tinjunya. Ketika dikatakan, ia dituduh melakukan pembunuhan atas Babe, Clayton mengulangi bantahannya dalam sebuah pernyataan tertulis.
Selanjutnya Mooney pindah ke tempat Jean Lee, yang sebelumnya sudah diinterogasi oleh Currer dan Kellett. Sebelum ia masuk, Currer memberi tahu, Jean orangnya sangat tenang dan tidak mau mengaku.
Mooney memberi tahu Jean pengakuan Clayton dan tentang percakapan dengannya di halaman belakang rumah Babe. Jean menjawab, ia tidak akan bicara apa-apa. Lalu Mooney berkata, Clayton sudah membuat pernyataan. Ketika pernyataan dibacakan, Jean berkata, itu cuma karangan para detektif. Ia minta dipertemukan dengan Clayton. Ketika dibawa masuk, Clayton menangis sementara Jean memandangnya dengan geram tetapi tanpa bicara sekecap pun.
"Huh, mereka bilang perempuan lebih lemah!" katanya saat Clayton dibawa pergi. "Aku masih mencintai Bobby, makhluk tidak berpendirian itu. Kalau itu maunya, ya sudahlah."
Akhirnya Jean membenarkan keterangan Clayton, kecuali bahwa Clayton tidak meninggalkan rumah Babe lebih dulu. Andrews juga ikut, meninggalkan Jean sendirian. Menurut Jean, saat ia berduaan dengan Babe, "Saya pukul kepalanya dengan botol dan sepotong kayu," katanya. Para detektif memang mencatat adanya patahan kaki meja di sebelah mayat. "Jari saya tergores pecahan botol", kata Jean sambil menunjukkan tangannya. "Ia pun jatuh dari kursi ke lantai."
Ketika ditanya apakah ia mengikat tangan korban, Jean menjawab, "Ya, saya mengikat jempolnya dengan tali. Saya tahu ia sudah tewas waktu kami meninggalkannya."
"Kami?" tanya Currer.
"Cuma saya sendiri," Jean tergagap meralat.
Meski mau mengaku, ia menolak membuat pernyataan tertulis. Ia membantah semua ucapannya dan mogok bicara. Jean Lee pun dituduh membunuh William Kent.
Sementara itu Andrews menyangkal pergi ke rumah Babe, "Mungkin mereka berdua yang melakukan. Saya tidak ikut." Ketika diberi tahu perihal pengakuan Clayton, ia tidak percaya dan ingin melihat pernyataan itu. Ketika sudah melihatnya, ia marah. "Iya, deh. Saya ada di sana," katanya. "Tapi saya tidak membunuh. Saya bahkan tidak memukulnya."
Menurut pengakuan Andrews, Clayton dan Jean menganiaya dan merampok korban, sedangkan dia cuma berdiri mengawasi. Currer memandang buku-buku jari Andrews. Buku-buku jari itu tidak menunjukkan kalau pemiliknya cuma berdiri mengawasi. Ketika diberi tahu ia dituduh membunuh, Andrews protes, "Saya tidak menyentuhnya."
Salah pergaulan
Selama ketiga tersangka menunggu diadili, polisi mengusut latar belakang mereka. Di bangku sekolah, Jean Lee termasuk anak yang cerdas, agak tomboi, dan cenderung pemberontak. Sejak remaja, kecantikannya sudah menarik perhatian lawan jenis. Ia terus berpindah-pindah kerja lantaran para majikannya tidak puas dengan hasil kerjanya. Ia pernah bekerja di pabrik topi, menjadi pramusaji, karyawan administrasi di bengkel mobil, dan buruh pabrik. Tampaknya ia lebih menikmati pergaulan dengan lawan jenis daripada bekerja.
Umur 18 tahun ia menikah dengan pacarnya yang pengangguran dan tidak lama kemudian melahirkan anak perempuan. Kemudian Jean meminta cerai. Anaknya dirawat sang ibu, sedangkan Jean bekerja di Brisbane sebagai pramusaji. Ia bergaul dengan para tentara AS yang waktu itu banyak ditempatkan di sana. Lalu ia berpacaran dengan seorang penjahat yang mendominasi hidupnya selama empat tahun. Orang inilah yang membawa Jean terjun ke lembah hitam.
Akhirnya Jean bisa melepaskan diri, dan pergi ke Sydney menjadi pelayan bar. Suatu hari ia bertemu Robert Clayton, penjahat kelas teri yang biasa membongkar rumah dan sering keluar-masuk penjara. Walau penampilan Clayton rapuh dan mencerminkan kelicikan, Jean amat mencintainya. Segera saja Jean dimanfaatkan oleh pasangannya, untuk menjalankan tindak pemerasan.
Biasanya Jean memilih pria yang tampaknya terhormat, lalu memancingnya ke mobil curiannya. Di sana, ia merayu sang calon korban dengan daya tarik kewanitaannya. Tiba-tiba saja Clayton muncul, berpura-pura sebagai suami yang kalap. Ia mengancam akan minta cerai dan menjadikan sang korban sebagai pihak penyebab perceraiannya. Si pria yang takut istrinya tahu dan namanya tercemar biasanya lantas minta "damai" dan menyerahkan semua uang yang dibawanya. Kalau ia menolak, Clayton akan menghajar dan merampoknya.
Tidak jarang Jean ikut dipukuli. Luka di hidungnya juga akibat pukulan tangan Clayton yang bercincin. Waktu itu Clayton marah karena Jean memilih korban yang terlalu kuat bagi Clayton.
Selama ini, Clayton menghabiskan uang penghasilan mereka untuk berjudi, padahal mana ada penjudi yang beruntung. Kini tega-teganya dia mengkhianati Jean.
Sementara Norman Andrews jenis orang yang amat berbeda dari Clayton. Meski tak seberapa tinggi, ia penjahat tangguh yang tidak takut apa pun. Sempat menjadi tentara dan terlibat dalam berbagai pertempuran, akhirnya Andrews dikeluarkan dari dinas militer karena sering libur tanpa izin. Clayton pertama kali bertemu dengannya di penjara. Ketika bertemu lagi di gelanggang pacuan kuda Melbourne, mereka menggalang kembali persahabatan yang sempat terputus.
Mereka kalah taruhan habis-habisan dan berniat bekerja sama. Rencananya ia akan meminjamkan tenaga pada tim Jean dan Clayton. Mereka dua kali berhasil merampok sebelum memilih Babe sebagai korban. Korban sebelumnya adalah dokter muda dan seorang koki restoran.
Menyangkal keterangan pada polisi
Siksaan yang diderita Babe diungkapkan oleh Dr. Bowden dalam sidang pra-peradilan. Katanya, dua pisau lipat bernoda darah di dalam kamar Babe diperkirakan adalah alat untuk menyiksa wajah Babe. Dinding perut dan paha kiri Babe memar hebat. Selain itu, ada luka-luka lain di tubuh Babe. Babe pun dicekik dengan tangan. Ketika setiap luka disebutkan, ketiga tertuduh saling senggol dan tertawa.
Tanggal 20 Maret tahun berikutnya mereka dihadapkan ke pengadilan kriminal Melbourne. Clayton dan Jean duduk berpegangan tangan. Clayton membantah keterangannya di depan polisi. Katanya mereka bertiga meninggalkan rumah Babe pukul 19.00. Kata Jean, Kent baik-baik saja saat ditinggalkan. Katanya, ia sedang 'histeris' ketika membuat pengakuan di depan polisi. Sementara itu Andrews terus membantah keterlibatannya dalam pembunuhan maupun perampokan.
Dalam kesimpulannya Hakim Gaffan Duffy berkata pada para juri, "Kalau Anda menemukan tiga orang bersama-sama di sebuah ruangan di mana kemudian terjadi penganiayaan besar dan menemukan bekas-bekas kekerasan pada tangan mereka dan darah pada pakaian mereka, maka hal itu tentu bukan kebetulan, tetapi bukti kuat bahwa mereka mengambil bagian dalam penganiayaan."
Tanggal 25 Maret, juri memerlukan waktu kurang dari tiga jam untuk memutuskan bahwa ketiga terdakwa bersalah membunuh William Kent.
"Saya tidak membunuh! Saya tidak membunuh!" teriak Jean Lee sambil tersedu-sedu dalam pelukan pacarnya.
"Dasar orang-orang goblok!" teriak Clayton sambil menuding para juri. Andrews ditanyai apakah ia ingin menyatakan sesuatu. "Tidak. Pada kesempatan ini tidak," jawabnya.
Ketika mereka bertiga dijatuhi hukuman mati, Clayton meludah ke arah juri dan berteriak, "Kenapa kalian tidak menggantung si Currer pembohong itu dan penipu lainnya?"
Mereka naik banding dengan dalih pengakuan dibuat di bawah tekanan saat mereka mabuk dan setengah histeris.
Tanggal 23 Juni, hakim-hakim Pengadilan Banding dengan suara dua lawan satu menyatakan, polisi memperoleh pengakuan dengan cara tidak benar, yaitu dengan menggunakan pengakuan tertuduh yang satu untuk memperoleh pengakuan dari tertuduh yang lain. Penghukuman dikesampingkan dan diperintahkan agar mereka diadili kembali.
Jean Lee amat senang. "Apa kubilang!" serunya sambil memeluk dan menciumi Clayton dengan penuh gairah. Kegembiraannya terlalu dini. Keputusan Pengadilan Banding ditolak oleh Mahkamah Agung. Hukuman mati dikukuhkan.
Jean Lee yang baru berumur 31 tahun jadi sering mengamuk di selnya. Ia kerap menyerang para wanita sipir dan sering meminta minuman keras.
Tercatat dalam sejarah
Tanggal 4 Januari tahun berikutnya, Andrews menulis surat ke inspektur jenderal lembaga pemasyarakatan, menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi di kamar Babe.
Menurut versinya, ia sedang menuangkan minuman ketika Jean berkata, "Cepat, Bobby!" Ia menoleh dan melihat Babe sedang memegangi lengan Jean. Clayton lantas meninju wajah Babe.
Andrews bertanya, "Ada apa sih?" Clayton menjawab, Jean mencoba mengambil uang Babe tetapi ketahuan. Mereka memutuskan mengikat korban ke kursi, supaya mereka bisa kabur dengan aman.
Kata Andrews, pada saat ia merobek seprai untuk pengikat, pintu diketuk. Ia membuka pintu sedikit. Ternyata perempuan teman Babe yang tinggal di rumah seberang, ingin minum-minum. Ia melarang wanita itu masuk, sebab katanya sedang ada pesta pribadi. Lalu ia mengantar wanita itu ke jalan. Ketika masuk lagi ke kamar, Babe sudah terbujur di lantai. Jean berlutut di sebelahnya sambil menangis.
"Ada apa?" tanya Andrews. Menurut Clayton, "Waktu kamu berbicara dengan wanita itu, dia (Babe) berusaha membuat kegaduhan untuk menarik perhatian. Aku harus menghentikannya. Aku mencekal lehernya dan rupanya terlalu keras."
Menurut surat Andrews, Babe ternyata sudah tewas. Clayton berulang-ulang berkata, "Aku cuma ingin menghentikan nyanyiannya. Aku tidak bermaksud mencekiknya."
Surat itu, yang rupanya merupakan usaha Andrews untuk membersihkan diri, tak mampu meyakinkan pihak berwajib. Maksudnya tidak tercapai karena cedera pada Babe menunjukkan bahwa orang lanjut usia itu mengalami penyiksaan yang cukup lama.
Akhirnya, walaupun diprotes oleh orang-orang yang anti-hukuman mati, eksekusi dijalankan juga. Nyawa Babe yang terlebih dahulu melayang akhirnya harus ditebus tiga nyawa para pembunuhnya.
Jean Lee menjadi perempuan pertama sejak 56 tahun terakhir yang digantung di Negara Bagian Victoria. Sebelumnya ia berkata kepada seorang perempuan sipir, "Saya tidak mencekiknya. Saya tidak memiliki kekuatan untuk mencekik siapa pun juga. Bobby memang bodoh, tetapi siapa suruh si tua itu mau berteriak. Kami tidak bermaksud mencekiknya."
Senin 19 Februari 1951, Jean Lee yang sudah diberi obat penenang diantar ke tiang gantungan. Ia keburu pingsan, sebelum sheriff membacakan alasan ia dihukum gantung. Jean Lee tercatat dalam sejarah Australia sebagai wanita terakhir yang menjalani hukuman gantung sebelum hukuman itu ditiadakan.
Dua jam kemudian, Robert Clayton dan Norman Andrews yang juga diberi obat penenang, tetapi tidak sebanyak untuk Jean. Mereka bisa berjalan sendiri ke tiang gantungan masing-masing.
Selama dalam sel mereka, Clayton memanggil Andrews "Charlie". Saat mereka berdiri berdampingan di atas pintu yang bisa menjeblak ke bawah panggung, Clayton berkata, "Goodbye, Charlie."
Andrews menjawab, "Goodbye, Bobby." (William Kendal/HI)
0 Comments:
Post a Comment