Di Garut malam-malam Raisa kaget mendapat telepon itu. "Tenang saja. Aku pasti datang Senin malam. Tapi mungkin agak malam. Ibu menyuruhku mampir ke rumah Tante Kori. Lalu aku menjemput Lisa di rumahnya. Kuusahakan kami sudah tiba sebelum acara mulai."
Liontin hadiah ulang tahun
Esoknya, Senin pagi, dengan wajah segar dan ceria Raisa sudah di dalam bus menuju Bandung. Raisa tidak keberatan meski harus jauh-jauh pergi ke Bogor, demi sahabatnya.
Tantri sedang mencoba gaun pesta ketika telepon di kamarnya berdering. Suara di seberang sana sudah tidak asing lagi di telinganya. Dari Lisa di Bandung yang mengabarkan urung datang karena penyakit ibunya kambuh.
"Oh iya, tadi Raisa ke rumah menjemput aku. Jadi, dia pasti datang. Anggap saja ia mewakili aku, OK?" Setelah mengucapkan selamat, dan - kembali - minta maaf, Lisa menutup telepon.
Tantri menarik napas dalam-dalam. Untung Raisa bisa datang. Ulang tahun tanpa sahabat dekat tentu tidak meriah.
Dering telepon membuat Danu Sasmita terperanjat. Entah mengapa sejak mengantar Raisa, putri tunggalnya, ke terminal hatinya tidak tenang. Apalagi setelah menerima telepon dari Kori, adik iparnya, yang menanyakan Raisa, yang belum juga muncul di rumahnya di Bandung. Selain itu, kata Kori, teman Raisa yang berulang tahun telah menelepon, menanyakan apakah Raisa sudah berangkat dari Bandung.
Meski sempat waswas, Danu menenangkan diri dengan menduga, Raisa yang langsung ke Bogor, belum tiba di Bogor. Selasa pagi Danu menelepon kembali Kori untuk menanyakan kabar Raisa. Jawaban Kori justru menambah khawatir. Ia makin gelisah ketika Tantri bertanya, kenapa Raisa tidak kunjung datang.
Dengan berbekal nomor telepon dari Tantri, Danu menelepon hampir semua teman Raisa. Namun, semua mengaku tidak tahu.
Sudah dua hari Raisa menghilang. Bukan hanya Danu, pasangan suami-istri Anwar dan Kori pun melapor ke polisi. Namun, belum ada titik terang yang menunjukkan keberadaan Raisa.
Empat hari kemudian, berbagai media massa memberitakan ditemukannya sesosok mayat wanita muda di daerah Ciranjang, Cianjur. Mayat tanpa identitas itu ditemukan seorang pencari kayu bakar, di sebuah lubang di hutan pinus.
Dari ciri-ciri yang diberitakan Danu curiga mayat tersebut adalah Raisa. Dengan diantar petugas kepolisian Garut dan Anwar, adiknya, Danu pergi ke Ciranjang, tempat mayat ditemukan. Rasa penasaran mendorongnya untuk melihat mayat yang mulai membusuk.
Danu limbung, untung Anwar sigap menangkapnya.
"Bapak mengenalinya?" tanya seorang polisi. Danu mengangguk dengan air mata yang tak lagi mampu ditahan. Ia yakin, itu jasad Raisa. Tandanya, seutas kalung dengan liontin berinisial RIS yang melingkar di leher mayat itu. Danu ingat, liontin itu hadiah pemberiannya di ulang tahun ke-17 Raisa. RIS artinya Raisa Indrawati Sasmita.
Pacarnya tak melayat
Usai diautopsi, jasad Raisa dikuburkan di pemakaman keluarga di Bandung. Dari pemakaman, Inspektur Satu Polisi (Iptu) Agung ditemani Sersan Satu Tatang menemui Danu dan istri di rumah Anwar. Danu tidak merasa ada yang aneh saat mengantar Raisa ke terminal, untuk merayakan ulang tahun Tantri di Bogor. Lagipula bukan satu-dua kali Raisa pergi ke luar kota.
Selama dua tahun terakhir Raisa tinggal bersama paman dan tantenya, karena harus menyelesaikan kuliah di sebuah universitas di Bandung. Saat liburan saja Raisa pulang, ke rumah orang tuanya di Garut.
Menurut Danu, kecil kemungkinan Raisa punya musuh. Raisa pandai bergaul hingga temannya banyak. Kalau ke Garut, Raisa tidak pernah mengeluhkan masalah apa pun. Dia selalu pulang dengan wajah ceria. Cerita Danu diperkuat oleh keterangan Kori dan Anwar. Selama tinggal bersama mereka, Raisa selalu berperilaku baik.
Teman-teman Raisa pun sependapat. Malah, diketahui pula kalau Raisa menjalin hubungan dengan teman kuliahnya, yakni Dito. Iptu Agung pun melihat, banyak teman Raisa ada di rumah Anwar membantu keluarga Danu mengurusi proses pemakaman Raisa, kecuali Dito.
Usai menemui Danu, Iptu Agung menghampiri Tantri di kamar Raisa. Gadis manis itu duduk termenung dengan mata sembap, saat Iptu Agung duduk di hadapannya.
Dengan suara berat sambil sesekali menghapus air mata, Tantri bercerita tentang Raisa yang periang, pandai bergaul, namun juga sangat iseng. Keisengan itu terkadang membuat orang lain jengkel. Dito pun pernah jadi "korban".
"Bagaimana ceritanya?" tanya Iptu Agung penasaran.
"Saat itu saya, Lisa, Mimi, Sari menginap di sini. Niatnya, membuat makalah. Tapi akhirnya kami ngobrol ke sana-kemari," tutur Tantri, "tiba-tiba Raisa mengajak bertaruh."
Kalau Raisa menang, selama seminggu Tantri dan teman-teman harus mentraktir makan. Selain itu, ulang tahun Tantri yang bertepatan dengan hari Valentin harus dirayakan di vila di Bogor. "Tapi, kalau Raisa kalah, cincin kesayangannya hadiah ulang tahun dari Dito, akan diserahkan. Kami setuju."
Bentuk taruhannya sederhana. Raisa akan menelepon Dito lalu memintanya datang. Padahal hari sudah malam, sedang hujan lebat pula. Tantri dan teman-teman yakin Raisa akan kalah. Ternyata tidak, Raisa menang.
"Mengapa Dito mau datang?"
Sambil menatap foto Raisa di meja belajar, Tanri berkata, "Raisa mengatakan, ia hamil dan minta Dito bertanggung jawab. Bila Dito tidak datang, Raisa akan memberi tahu semua orang. Kalau sebaliknya, ia akan tutup mulut dan menyelesaikan masalah itu. Dito pun panik dan cepat-cepat datang."
Iptu Agung menatap Tantri dalam-dalam, "Benarkah Raisa hamil?"
"Enggaklah Pak, itu 'kan akal-akalannya saja agar menang. Keisengannya memang selalu membuat jantung deg-degan. Yang kenal Raisa, tahu itu. Selain Dito, kami dan Om Nugroho pun pernah dibuat kalang kabut."
"Om Nugroho? Siapa dia?"
"Teman Om Anwar."
Menurut Tantri lagi, sejak itu Raisa dan Dito jarang akur. Apalagi Dito mulai melirik cewek lain yang juga sekampus. Itu terjadi dua minggu sebelum Raisa pulang ke Garut. Orang tua Raisa sama sekali tidak tahu kalau Raisa mempunyai kekasih bernama Dito.
Setelah dirasa cukup, Iptu Agung bermaksud pamit. Saat ia hendak beranjak pergi, seorang pria berpostur tegap masuk, menyalami orang-orang di sana, lalu langsung memeluk Anwar.
Anwar memperkenalkan laki-laki itu pada Danu Sasmita dan Iptu Agung. Nugroho mengangguk hormat ke arah Danu dan Agung. "Saya turut berduka cita, Pak. Sungguh tidak disangka. Rasanya baru kemarin saya melihatnya," tambahnya.
"Kami juga tidak menduga. Semoga pembunuhnya cepat tertangkap," sahut Anwar sambil mengepalkan tangan gemas.
"Anda kenal Raisa?" pertanyaan mendadak Iptu Agung mengejutkan Nugroho.
"Tentu, Pak. Saya sering bertemu dengannya kalau ke sini, dia anak baik," jawab Nugroho gugup.
Agung mengangguk sambil mengajak Sertu Tatang untuk pamit.
Cincinnya di pacar baru
Pukul 07.00, Iptu Agung diberi tahu anak buahnya tentang tamu yang sudah sedari 15 menit menunggunya.
"Saya Lisa, sahabat Raisa. Saya tidak bisa tinggal diam, Pak. Saya takut kecurigaan saya benar," ujar gadis berambut panjang itu memperkenalkan diri.
Lisa datang atas permintaan Tantri. Sebelumnya Lisa telah bercerita pada Tantri tentang semua kecurigaannya.
"Kemarin di rumah sakit saya bertemu Sasti. Kebetulan neneknya seruang dengan Ibu saya. Kami ngobrol, sampai akhirnya dia memperlihatkan cincin di jarinya. Saya kaget, itu cincin Raisa!"
"Sasti? Siapa dia?" Iptu Agung penasaran.
"Pacar baru Dito. Kebetulan dia teman saya di SMP. Katanya, cincin itu pemberian Dito, sebagai hadiah Valentin sekaligus hari jadian mereka. Aneh 'kan, Pak? Soalnya, terakhir kali bertemu Raisa, saya lihat cincin itu masih di jarinya."
"Kapan itu?"
"Tanggal 14, Pak. Saya dan Raisa berencana berangkat bareng ke vila Tantri di Puncak. Waktu itu Raisa diantar Dito menjemput saya di rumah saya di Dago."
"Mengapa baru sekarang Anda melaporkan?"
"Baru kemarin saya tahu Raisa meninggal, ya dari Sasti itu. Awalnya saya tidak percaya. Tapi setiba di rumah saya, Tantri sudah menunggu dan mengabarkan berita duka itu. Saya jadi curiga pada Dito."
Menurut dia, karena Lisa batal ke Bogor, Dito akan mengantar Raisa sampai Bogor.
"Pukul berapa mereka berangkat dari rumah Anda?"
Lisa mengernyitkan dahi, mengingat-ingat. "Sekitar pukul 14.30, Pak. Kami berangkat bersama. Mereka juga mengantar saya dan Ibu ke rumah sakit."
"Anda yakin cincin yang dipakai Sasti itu milik Raisa?"
"Saya hapal benar. Modelnya unik dan lucu, berbentuk hati. Tanya saja Tantri, ia pasti sependapat dengan saya."
"Apa Anda yakin Raisa langsung pergi ke Bogor? Tidak mampir dulu ke tempat lain?"
"Yakin, Pak. Setelah mengantar saya, Dito yang tampaknya sedang kesal cepat-cepat mengajak Raisa ke Bogor. Alasannya, agar tidak kemalaman di jalan," tutur Lisa.
Sakaw saat diinterogasi
Berbekal keterangan Lisa, Iptu Agung memanggil Dito dan Sasti.
Pengakuan Sasti yang tinggi semampai itu sama seperti yang diucapkannya pada Lisa. Ia mengaku, baru kenal Dito dua minggu silam. Perkenalan itu menjadi makin serius. Buktinya adalah cincin itu.
"Apa Anda kenal Raisa?"
"Raisa? Tidak. Tapi, saya tahu orangnya. Dito juga pernah cerita, Raisa itu mantan pacarnya. Kasihan, ia meninggal dengan cara mengenaskan."
"Tahukah Anda, cincin itu milik Raisa?"
Sasti kaget. Matanya menatap tajam Iptu Agung. "Kata siapa, Pak?!"
"Ada yang bilang, itu cincin Raisa. Bahkan, masih dipakai pada 14 Februari. Coba ceritakan lagi, kapan tepatnya Anda menerima cincin ini?" desak Agung.
Dengan kesal Sasti mengatakan, Dito memberikan cincin itu pada 14 Februari malam, pukul 21.30. Saat itu Dito dan teman-temannya merayakan hari Valentin di sebuah diskotek. "Kalau ada yang mengatakan cincin ini milik Raisa, pasti karena dia iri pada saya dan Dito."
Saat Dito dimintai keterangan, pemuda ganteng bertubuh ceking itu menjawab dengan berbelit-belit. Sikap yang membuat Iptu Agung kesal itu juga mengesankannya terlibat dalam pembunuhan Raisa.
Apalagi saat Agung bertanya, ke mana Dito dan Raisa pergi setelah mengantar Lisa ke rumah sakit. Dito hanya mengaku, ke rumah teman tanpa menyebutkan nama dan alamat sang teman. Untuk pemeriksaan lebih lanjut Dito terpaksa mendekam dalam tahanan kepolisian.
Di hari kedua pemeriksaan Dito mengaku, tidak mengantar Raisa ke terminal Leuwi Panjang melainkan ke depan kompleks perumahan tempat tinggal Raisa. Selanjutnya, dia tidak tahu ke mana Raisa pergi.
"Bukankah Anda mengatakan pada Lisa, akan mengantar Raisa ke Bogor?"
"Awalnya begitu, Pak. Tapi di jalan Raisa malah minta diantar ke rumah tantenya. Belum sampai di rumahnya, ia pun minta berhenti. Katanya, mau naik becak saja."
"Saat itu Anda sedang kesal dengan Raisa. Mengapa?"
Dito tidak segera menjawab. Kepalanya menunduk, butir-butir keringat membasahi dahinya.
"Tolong jawab!" ulang Iptu Agung.
Dito menarik napas berat, "Saya kesal karena Raisa minta dijemput di terminal, minta diantar ke mana-mana. Tapi tidak sekalipun minta maaf, malah minta putus."
"Minta maaf? Untuk soal apa?" tatap Agung.
"Eh … eh … suatu malam Raisa menelepon saya, dan mengaku hamil. Ia meminta saya datang. Ternyata, semua hanya tipuan. Saya jadi objek taruhan antara dia dan teman-temannya. Sejak itu hubungan kami renggang. Apalagi teman-temannya selalu mempengaruhi agar menjauhi saya," jawab Dito pelan.
"Mengapa?"
"Entahlah, Pak."
"Mengapa Anda panik saat diberi tahu bahwa Raisa hamil?"
"Saya amat mencintainya. Selama berpacaran, saya berusaha tidak melakukan hal yang melewati batas. Tentu saja saya kaget waktu Raisa mengaku hamil. Saya marah. Saya pikir Raisa pasti melakukannya dengan orang lain."
Lalu Iptu Agung bertanya tentang cincin yang diberikan pada Sasti. Dito mengatakan, cincin itu dikembalikan Raisa sebagai tanda putus. Dengan kesal dan marah ia langsung pergi. Dia tidak peduli ke mana Raisa pergi. Ia sengaja memberikan pada Sasti untuk memanas-manasi Raisa, agar menyesal telah mengembalikan cincin itu.
"Saya menyesal membiarkannya sendiri. Kalau saya tahu bakal begini .... " suara Dito tertahan, dia mengusap matanya yang berkaca-kaca.
"Kata Anda, setelah mengantar Raisa, Anda mengunjungi teman. Siapa namanya dan di mana alamatnya?"
Heran, Dito tak menjawab, tubuhnya menggigil, wajahnya memucat. Dari hidungnya keluar cairan bening. Dengan tangan gemetar Dito menghapusnya.
"Anda sakit?" tanya Agung.
Meski Dito menggeleng, Agung tanpa membuang waktu meminta anak buah membawa Dito ke rumah sakit.
Dari hasil pemeriksaan diketahui, Dito positif memakai obat-obatan terlarang. Rupanya saat diinterograsi Dito sakaw.
Sedari awal Agung sudah curiga dengan keadaan Dito. Apalagi melihat gaya hidup Dito yang bebas dan penuh hura-hura. Kini selain tersangka utama pembunuh Raisa, Dito juga dicurigai sebagai pengedar narkoba.
Dua orang yang dicurigai
Inspektur Satu Agung mempelajari kembali hasil autopsi Raisa. Di antaranya disebutkan Raisa meninggal akibat pukulan di belakang kepala. Pukulan yang diduga dilakukan secara bertubi-tubi itu mengakibatkan bagian belakang kepalanya retak. Kemudian tubuh korban dibenamkan di sebuah lubang, yang lalu ditutupi dedaunan.
Diduga pelakunya adalah orang yang kenal dengan korban. Tidak ada tanda-tanda perkosaan ataupun perampokan, kecuali cincin dan semua kartu identitas hilang.
Tempat penemuan mayat jauh dari keramaian dan tidak dilewati kendaraan umum. Jangankan kendaraan besar seperti bus, angkot pun tidak akan sampai ke hutan pinus itu. Artinya, Raisa atau si pelaku tidak menggunakan kendaraan umum, mungkin kendaraan pribadi.
Dari semua informasi itu, makin jelas kemungkinan Dito sebagai tersangka utama. Saat mengantar Raisa, Dito menggunakan sepeda motor. Ia pun tidak punya alibi antara waktu mengantar Raisa dan menjemput Sasti pada pukul 20.00.
Agung tinggal menunggu pengakuan Dito, yang kini dirawat di rumah sakit. Sekeluar Dito dari perawatan, serangkaian pemeriksaan menunggunya.
Belum usai merapikan kertas laporan, datang Sertu Tatang yang melaporkan temuannya.
"Apa anehnya dia ada di kafe?" tanya Agung dengan dahi berkernyit.
"Yang janggal adalah orang yang bersamanya. Bapak pasti tidak menduga."
Agung memajukan kursi, tanda penasaran.
Ternyata Tatang melihat tante Raisa berduaan dengan pria yang bukan suaminya, yakni Nugroho.
"Nugroho?" Agung mengingat-ingat.
"Benar Pak, kita pernah bertemu dengannya di rumah Anwar saat pemakaman Raisa. Dia datang saat kita akan pulang."
"Lalu?"
"Menurut pelayan, mereka memang pelanggan kafe itu. Sepertinya mereka menjalin hubungan."
Agung mengangguk-angguk, rasanya penemuan ini perlu ditindaklanjuti dan diselidiki. Apalagi ia ingat cerita Tantri tentang Nugroho yang pernah dibuat kalang kabut oleh Raisa.
Sersan Tatang mulai menjalankan tugas untuk mencari tahu sejauh mana hubungan keduanya. Ia menyamar sebagai pelanggan kafe. Dengan bantuan pramusaji bernama Bino, Sersan Tatang tahu hari dan jam berapa dua insan itu biasa bertemu.
Tidak dipungkiri lagi, Kori dan Nugroho memang menjalin hubungan asmara. Mereka layaknya remaja yang mabuk cinta, berkencan dan bermesraan, tak peduli sekitarnya.
Hasil investigasi itu dilaporkannya kepada Iptu Agung. Untuk membuktikan kecurigaannya yang tiba-tiba muncul di benaknya, Agung meluncur ke tempat kos Tantri.
"Wah kedatangan Bapak benar-benar kejutan, ada yang bisa kami bantu, Pak?" sergah Tantri dan Lisa, yang tak disangka ada di sana.
"Benar. Saya ingin bertanya soal Nugroho. Anda pernah bilang, Raisa sempat mengerjai Nugroho, benarkah?" Agung menatap Tantri.
"Sebenarnya saya kurang tahu, Pak. Karena saya tidak begitu mengenal Om Nugroho. Raisa yang pertama kali mengenalkannya. Raisa mengatakan, ingin ngerjain Om Nugroho, karena tahu rahasia Om Nugroho. Bila berhasil, si Om tidak akan sering-sering datang ke rumahnya, khususnya saat Om Anwar tidak ada di rumah."
Namun seingat Lisa, Raisa memang pernah menggarap Om Nugroho. Beberapa waktu lalu Raisa mengajak Tantri, Lisa, Didit, Ami, dan Lim Yie makan-makan. Setelah memesan makanan, Raisa menelepon Om Nugroho, yang datang tak lama kemudian. Setelah makanan ludes, Raisa mengajak pergi teman-temannya, membiarkan Om Nugroho yang membayar.
"Waktu kami tanya, kenapa Om Nugroho yang membayar. Jawaban Raisa cuma, 'rahasianya ada padaku'."
Tiba-tiba Tantri ingat sesuatu. "Oh ya, sebelum pulang ke Garut, Raisa pernah menelepon ke telepon genggam Om Nugroho. Ia mengatakan ingin bertemu untuk membicarakan hal penting dan rahasia. Kalau tidak datang, rahasianya akan dia bocorkan. Saya sempat bertanya, tapi Raisa menolak memberi tahu. Ia berjanji akan bercerita saat ke Bogor nanti."
Tantri menduga, "Jangan-jangan Tante Kori berselingkuh dengan Om Nugroho. Saya pernah melihat mereka berduaan di taman belakang rumah. Saya tidak yakin Dito yang membunuh Raisa. Meski saya tidak suka pada Dito, tapi saya tahu Dito sangat sayang pada Raisa. Mungkinkah Om Nugroho membunuh Raisa? Bukankah ia punya motif? Itu kalau dugaan saya benar, Raisa sudah tahu itu. Agar aman, satu-satunya jalan adalah melenyapkan Raisa."
Namun Lisa membantah, "Belum tentu Tante Kori ada main dengan Om Nugroho. Saya lebih curiga pada Dito. Selama ini kita tidak tahu kalau Dito memakai obat terlarang. Tampaknya Raisa tahu bahwa Dito pengedar ganja. Ia akan melaporkannya ke polisi. Daripada mendekam di penjara, Dito memilih menghabisi Raisa. Saya yakin Raisa diajak mampir ke Ciranjang, lalu dihabisi di hutan pinus itu. Iya kan, Pak?"
Mendengar argumen keduanya Iptu Agung hanya tersenyum, "Ya kita akan mencari siapa pelakunya."
Dalam hati Agung memuji kejelian kedu gadis itu. Memang tak tertutup kemungkinan Nugroho terlibat pembunuhan itu, namun Agung juga melihat Dito punya peluang menjadi pelaku.
Sersan Tatang membawa laporan yang lebih lengkap. Di perusahaan yang dipimpin Anwar, Nugroho adalah staf yang segera dipromosikan menjadi wakil direktur. Sedangkan salah satu pemegang saham perusahaan garmen itu adalah Danu Sasmita.
Menurut tetangganya yang ditanyai Sersan Tatang, Nugroho dikenal sebagai suami penurut dan takut istri. Ia sering ketakutan kalau istrinya sedang marah-marah.
Dari Beno, pelayan kafe, Tatang mendapat informasi penting, Senin sore, 14 Februari, Nugroho tampak bersama seorang gadis muda berusia 20-an. "Saya ingat, hari Jumat malam dan Senin sore, dia membawa gadis cantik itu ke sini,
"Saya pikir dia dapat gacoan baru. Padahal minggu malamnya, saat acara Valentin yang tiap tahun diadakan di sini, ia dinobatkan sebagai pasangan serasi dengan wanita yang sering bersamanya. Hebat dia, bisa dapat cewek muda dan pintar bagi-bagi waktu," kata Beno sambil tertawa penuh arti.
Kunci berikutnya adalah istri Nugroho. Ketika Iptu Agung mendatangi rumahnya, Nugroho sedang ke luar kota. Ines, istri Nugroho, sempat heran polisi itu menanyakan jam berapa suaminya pulang pada tanggal 14 Februari.
Kata Ines, "Dia memang pulang malam karena ada rapat penting di kantor. Apalagi sebentar lagi ia akan naik pangkat menjadi wakil direktur, otomatis kesibukannya bertambah." Ines yakin suaminya yang penurut, tidak berani berbuat macam-macam. Agung iba dan prihatin melihat Ines. Dia pikir dengan menguasai dan mengendalikan Nugroho, suaminya itu akan selalu setia.
Agung mulai menghubungkan kematian Raisa, semua laporan Sersan Tatang, cerita Tantri dan Lisa, serta pengakuan Ines.
Dua tuntutan
Inspektur Satu Agung segera mengatur siasat. Bersama beberapa anak buahnya ia menjemput Nugroho di bandara. Tentu saja ini mengagetkan Nugroho.
Semula Nugroho keberatan dan memprotes saat dibawa ke kantor polisi, meski Agung memperlihatkan surat perintah. Namun, dengan sejumlah bukti-bukti dan saksi yang menyatakan melihatnya bersama Raisa pada hari Senin sore, akhirnya Nugroho tunduk.
Di kantor polisi, tanpa mengalami kesulitan berarti Agung berhasil mengorek pengakuan Nugroho.
"Sore itu saya melihat Raisa akan naik becak untuk pulang ke rumah Kori," akunya. Lalu ia mengajak Raisa berjalan-jalan, dan mampir ke kafe‚ tempat ia biasa mangkal bersama Kori.
"Selama ini Raisa tahu tentang perselingkuhan kami. Ia mengajukan tuntutan bila ingin rahasia mereka terjamin. Tapi ia selalu mengundur-undur waktu untuk mengatakan tuntutannya," tutur Nugroho dengan suara berat sambil tiap sebentar menghapus keringatnya.
Hari Senin itu Raisa akan mengatakannya. Pertama, ia minta diantar ke tempat ulang tahun temannya di Bogor. Nugroho menyanggupi.
Namun sesampai di daerah Ciranjang, Raisa mengubah niat. Ia minta turun, karena akan meneruskan perjalanan dengan bus. Sebelum pergi Raisa mengajukan syarat kedua, minta dibelikan mobil. Jika tidak terpenuhi, ia mengancam akan membeberkan rahasia perselingkuhan itu ke paman dan ayahnya. Celaka, itu artinya Nugroho bukan saja bisa kehilangan kedudukan, tapi juga pekerjaan. Raisa yakin kalau sampai tahu kejadian itu, pamannya akan memecat dia.
Tapi dari mana Nugroho mendapatkan uang untuk membeli mobil? Apa pula nanti yang harus dikatakan pada istrinya? Nugroho bingung.
Sebelum Raisa naik bus jurusan Bogor, Nugroho membujuknya kembali ke mobil untuk membicarakan tuntutan itu.
Setelah Raisa naik, Nugroho membelokkan mobil ke daerah Ciranjang. Ketika Raisa protes dan memberontak, Nugroho mendorongnya hingga membentur pintu mobil. Raisa pun pingsan. Nugroho terus mengemudi hingga masuk ke pelosok Ciranjang sampai tiba di hutan pinus.
"Saya tidak bermaksud membunuhnya, saat dia siuman saya memintanya untuk mengubah tuntutannya. Kalau tidak ia akan saya tinggal di hutan pinus itu. Tapi Raisa malah berteriak-teriak dan lari. Saya kalap. Saya kejar dia, lalu saya pukul kepalanya dengan sepotong kayu. Saya baru sadar ketika tahu ia tewas. Saya sungguh menyesal ...."
Lalu, Nugroho menyembunyikan tubuh Raisa dengan membenamkannya ke sebuah lubang. Lubang itu ditutupi dengan dedaunan dan ranting-ranting. Nugroho pun mengambil semua kartu identitas Raisa, lalu membuangnya di jembatan Citarum. Jejak ban dan bekas darah tidak ditemukan karena tersapu hujan lebat yang turun tiap hari.
Dengan pengakuan Nugroho, Dito terbebas dari tuntutan pembunuhan. Namun dia tetap diproses hukum karena terbukti menyalahgunakan obat-obat terlarang. Apalagi kesatuan reserse narkotika berhasil meringkus sekelompok pemuda yang berpesta shabu. Sebagian dari mereka mengenal Dito karena biasa membeli benda haram itu dari Dito.
Setelah kelompok pestanya tertangkap, Dito mengaku, usai mengantar Raisa, ia ke rumah Alex. Bersama beberapa temannya, ia merayakan Valentin dengan pesta putaw. Dia sengaja tidak mengatakannya pada Iptu Agung karena takut aktivitas kelompoknya ketahuan. Ia pun merasa bersalah telah meninggalkan Raisa sendiri sehingga harus menemui nasib tragis. (Fiksi/R. Yuliantina)
0 Comments:
Post a Comment